- (031) 8850366
- admin@mtsn4sda.sch.id
- Senin - Jum'at : 07.00 WIB - 15.30 WIB
TRADISI buka bersama sudah dimulai sejak zaman Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Oleh karena itu, heran jika pemerintah saat ini melarang kegiatan buka bersama lantaran dalam masa transisi.
Dalam tulisan berjudul “Yuk, Buka Bersama!”, (24/03/2023), Uttiek M. Panji Astuti mengomentari kebijakan Pemerintah yang meniadakan kegiatan buka bersama lantaran masih dalam masa transisi dari pandemi menuju endemi.
Aturan tersebut tertuang dalam dokumen surat bernomor R 38/Seskab/DKK/03/2023 yang ditandatangani Sekretaris Kabinet.
“Yang dirugikan tentu saja umat Islam. Mereka tidak bisa menyambung silaturahim, tidak bisa merapatkan barisan, dan tidak bisa membentuk ruang sosial bersama,” kata Ana Nadhya Abrar, Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada. [Republika, 24/3].
Prof Dr. Din Sayamsuddin juga memberikan komentar senada, “Tidak arif karena terkesan tidak memahami makna dan hikmah buka puasa bersama, antara lain untuk meningkatkan silaturahim yang justeru positif bagi peningkatan kerja dan kinerja Aparatur Sipil Negara (ASN), “ demikian rilis yang dikeluarkannya untuk media.
Tradisi buka bersama sudah dimulai sejak zaman Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam. Awalnya sejumlah delegasi dari Thaif yang baru masuk Islam memutuskan berdomisili sementara di kota Madinah.
Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam bersama Bilal bin Rabah mengantarkan sajian berbuka dan sahur kepada mereka.
Khalifah Umar bin Khattab meneruskan tradisi baik tersebut. Pada 71 H didirikannya Dar Ad Dhiyafah, sebuah lembaga khusus untuk menyambut para tamu dan melayani mereka yang berpuasa.
Sahabat mulia Abdullah ibn Umar memiliki kebiasaan berbuka puasa bersama anak yatim dan orang miskin.
Bahkan, terkadang putra Umar ibn Khattab itu sengaja menunggu datangnya fakir miskin ke rumahnya sebelum memulai berbuka puasa bersama keluarganya.
Kebaikan itu dicontoh dari generasi ke generasi.
Di Mesir, Ahmad Ibn Thulun pendiri Dinasti Thulun pada 868 M-967 M, mengumpulkan para jenderal, saudagar, dan tokoh-tokoh penting dalam jamuan pada hari pertama puasa di Masjid Amru Bin ‘Ash.
Selama Ramadan, ia mengeluarkan tak kurang dari 1.100 jenis makanan. Tradisi memberikan buka puasa ini berlanjut hingga kini. Meski jenis makanannya tak lagi sefantastis masa itu.
Baca Juga: Journey to Egypt Berakhir
Dalam kitab Tarikh Kama Kana disebutkan bahwa Daulah Utsmani memiliki kebiasaan buka bersama yang disebut Masabih Murjaniyah.
Yakni, istana akan membuka pintunya lebar-lebar bagi rakyat untuk menikmati jamuan buka puasa.
Kesempatan itu digunakan Sultan untuk bertemu langsung dan berbuka puasa bersama rakyatnya. Di momen tersebut, rakyat dengan rela hati mendoakan kebaikan untuk Sultan.
Adapun para menteri dan pejabat lainnya, mereka membuka lebar-lebar rumahnya tiap hari Senin dan Jumat sepanjang Ramadan.
Rakyat dijamu untuk berbuka puasa dengan berbagai macam hidangan, semisal buah-buahan, minuman, kacang-kacangan, serta berbagai jenis makanan lainnya.
Acara buka puasa bersama itu biasanya diiringi dengan bacaan Alqur’an yang merdu.
“Siapa memberi makan orang yang berpuasa, maka baginya pahala seperti orang yang berpuasa tersebut, tanpa mengurangi pahala orang yang berpuasa itu sedikit pun juga.”
(HR. Tirmidzi no. 807, Ibnu Majah no. 1746, dan Ahmad 5: 192].[ind]