- (031) 8850366
- admin@mtsn4sda.sch.id
- Senin - Jum'at : 07.00 WIB - 15.30 WIB
“JALAN Tol Jagorawi merupakan jalan terbaik yang kita miliki. Tentu, dalam melaksanakan pembangunan kita selalu ingin menciptakan yang terbaik…
Jalan Tol Jagorawi walaupun kontraktornya dari luar negeri, namun tidak sedikit pula pikiran dan tenaga kita yang ikut serta menyelesaikan jalan yang istimewa itu.”
Demikian ucap Presiden Soeharto dalam pidatonya di acara peresmian Jembatan Tol Citarum dan Jalan Tol Jagorawi pada 14 Agustus 1979.
Presiden Soeharto mempunyai kebanggaan sendiri pada jalan ini. Mengingat banyaknya pengorbanan yang ia lakukan untuk membangun jalan tol pertama di Indonesia.
Pembangunan jalan tol ini sebenarnya bukan ide Presiden Soeharto. Ide ini diusulkan oleh Walikota Jakarta, Sudiro yang menjabat pada tahun 1953-1960.
Ia mengusulkan untuk menggarap jalan raya yang kita kenal sekarang Jalan Sudirman – MH. Thamrin yang menghabiskan banyak anggaran pemerintah.
Pemkot Jakarta saat itu kelimpungan dalam membiayai jalan raya ini karena subsidi dari pemerintah pusat terbatas.
Kakek dari artis Tora Sudiro ini berpikir keras bagaimana pemerintah Jakarta untuk membiayai jalan raya Sudirman – MH. Thamrin.
Ia melihat bagaimana jalan raya di luar negeri berbayar. Konsep ini ia tuangkan untuk membuat jalan tol di Jagorawi.
Usulannya kemudian ia kasih tahu ke DPRDS pada tahun 1955 bersama Badan Pemerintah Harian Kota Praja. Ia juga mengusulkan adanya retribusi satu sen dari harga normal bensin saat itu.
“Di jembatan panjang, pada ujung jalan MH Thamrin itulah, diusulkan untuk didirikan tempat guna pemungutan tol bagi tiap kendaraan bermotor yang lewat di situ,” tulis Soebagijo IN dalam bukunya Sudiro Pejuang Tanpa Henti.
Sayangnya, usulan ini ditolak oleh anggota DPRDS karena menurutnya tol ini akan menghambat laju lalu lintas.
Alasan lain dari DPRDS adalah pemungutan ini seperti zaman kolonial dan dapat memicu keresahan masyarakat.
Saat itu, pemerintah kolonial menyewakan gerbang pemungutan tol kepada kalangan Tionghoa. Tarifnya ditentukan berdasarkan kedudukan gerbang tol.
“Jadi, sepikul 61.175 kg beras harus membayar pajak sebesar 44 sen di Ampel. Sebuah gerbang tol di Surakarta yang telah lama didirikan pada jurusan Sala-Salatiga, hanya akan terkena pajak 15 sen pada gerbang tol utama Panaraga di Jawa Timur, 8 sen di bandar Pacitan di pantai selatan dan hanya ditarik 2 sen saja di rangkah pager Waru di Pacitan,” demikian tulis Peter Carey dalam Orang Cina, Bandar Tol, Candu, dan Perang Jawa.
Namun, menurut Sudiro, ide tol itu tidak seperti zaman kolonial karena ia mengambil contoh jalan tol yang digunakan di Amerika Serikat.
Lantaran banyak yang menentang, jalan tol Jagowari baru dibangun pada tahun 1973 dan menghubungkan Jakarta-Bogor-Ciawi sepanjang 59 kilometer.
Jagorawi merupakan singkatan kata dari (Ja)karta – Bo(gor) – Ci(awi).
Sayangnya, pembangunan jalan tol ini juga tak lepas dari protes pribumi karena melibatkan pengusaha Cina dalam pembangunan dibandingkan pengusaha lokal.
Pribumi harus mengeluarkan uang jika ingin melewati jalan tol Jagorawi yang ditetapkan sebagai jalan berbayar, dan sebaliknya, memperkaya kaum pengusaha peranakan Cina.
Kesan dan citra buruk orang Cina semakin bertambah dalam dan meluas ketika mereka merelakan dirinya menjadi kepanjangan tangan penguasa, khususnya menyangkut kebijakan ekonomi yang mencekik rakyat.
Kebencian yang didasari alasan diskriminatif itu digambarkan dengan cukup mengena oleh A.R.T. Kemasang dalam disertasinya bertajuk The 1740 Chinese Massacres In Java: How Dutch Colonialism a Problem Minority in Its Effort to Thwart Indonesia’s Domestic Bourgeoisie (1988).
“[…] belum pernah terjadi sebelumnya, mereka yang berasal dari berbagai ‘kebangsaan’ merasa mempunyai persamaan, yaitu menghadapi musuh bersama: orang-orang Tionghoa, yang seperti biasa dianggap ‘eksklusif’.
Satu-satunya ras yang tidak muncul di jalan bersama-sama mereka, termasuk para majikan mereka (yaitu) orang-orang Belanda” (hlm. 1-2).
Selain pengusaha Cina, penggarapan proyek raksasa ini diserahkan kepada kontraktor asal Korea Selatan.
Bahkan, Menteri Konstruksi Korsel saat itu, Jae Kyu Kim, datang langsung ke Jakarta dan diterima oleh Presiden Soeharto didampingi Menteri PUTL Ir. Sutami di Istana Negara (Antara Pustaka Utama, Presiden RI ke II Jenderal Besar H.M. Soeharto dalam Berita: 1976-1978, 2008: 139).
Terlibatnya kontraktor asing sebenarnya sempat memantik polemik.
Beberapa kalangan tidak sepakat jika pengerjaan proyek jalan Jakarta-Bogor digarap pihak asing, dan pastinya hanya menempatkan orang-orang Indonesia sebagai pekerja kasar alias kuli.
Kecaman paling keras disuarakan Prof. Dr. Ir. Roosseno Soerjohadikoesoemo, yang pernah menjabat sebagai Menteri Pekerjaan Umum dan Menteri Perhubungan pada era Orde Lama pimpinan Presiden Sukarno, tepatnya di Kabinet Ali Sastroamidjojo I (30 Juli 1953-12 Agustus 1955).
Semula, jalan ini sebenarnya direncanakan memiliki dua fungsi, yakni untuk sipil dan militer.
Selain dimanfaatkan sebagai jalan raya pada umumnya, jalan ini juga akan digunakan sebagai landing-strip darurat bagi pesawat-pesawat tempur jika sewaktu-waktu terjadi perang.
Maka, dilihat dari fungsi awalnya, pembangunan jalan Jakarta-Bogor ini bukan dimaksudkan sebagai jalan bebas hambatan.
Namun, setelah pembangunan jalan selesai, muncul gagasan dari Menteri Pekerjaan Umum dan Tenaga Listrik (PUTL) saat itu, Ir. Sutami.
Ketika jalan tersebut selesai dibangun, tahun 1978, Pemerintah memikirkan agar biaya pengoperasian dan pemeliharaan ruas jalan tersebut dapat dilakukan mandiri tanpa membebani anggaran Pemerintah.
Untuk itu, Menteri Pekerjaan Umum ketika itu, Ir. Sutami mengusulkan kepada Presiden agar ruas jalan Jakarta – Bogor tersebut dijadikan jalan tol.
Maka, dua minggu minggu sebelum jalan tol Jagorawi diresmikan penggunaannya, persisnya pada 25 Februari 1978, terbit PP No. 4 tahun 1978 tentang Penyertaan Modal Negara Republik Indonesia untuk pendirian Persero yang mengurusi dan mengelola infrastruktur jalan raya.
Dari situlah kemudian lahir badan usaha persero PT Jasa Marga (Persero) pada 1 Maret 1978, satu minggu sebelum jalan tol Jagorawi diresmikan.
Jalan tol yang dibangun dengan biaya Rp350 juta per kilometer (km) pada kurs rupiah saat itu. Jalan tol sepanjang kurang lebih 50 km ini diresmikan Presiden Soeharto pada tanggal 9 Maret 1978.
Saat diresmikan, jalan tol tersebut baru sampai ruas Jakarta-Citeureup saja, dengan karyawan 200 orang.
Jalan tol Jagorawi merupakan jalan tol pertama yang didanai APBN dari pinjaman luar negeri, kemudian pengelolaannya diberikan kepada PT Jasa Marga sebagai modal awal perusahaan tersebut dan merupakan penyertaan pemerintah.
Jasa Marga telah melakukan sekuritisasi aset pertama dalam bentuk pendapatan masa depan (future income) jalan tol.
Adapun produk yang diterbitkan yakni kontrak investasi kolektif beragun aset (KIK EBA) Mandiri JSMR01.
Emiten berkode JSMR ini pun memilih Jalan Tol Jagorawi untuk diivestasikan pendapatan masa depan.
Dari rata-rata pendapatan tol sebesar Rp700 miliar per tahun, yang disekuritisasikan senilai Rp400 miliar selama 5 tahun atau menjadi Rp2 triliun.
Hasil dari produk tersebut pun bisa diperuntukkan untuk membantu pendanaan pembangunan tol Jasa Marga.
Dari total ruas tol yang dimiliki sepanjang 1.260 kilometer (km), perseroan baru mengoperasikan sebanyak 607 km.
Artinya, masih ada sekira 50% lagi ruas tol yang harus dioperasikan dan tentu membutuhkan dana besar. [Ilham/ind]